Rabu, 31 Agustus 2011

Renungan 28 Agustus 2011


RENUNGAN MINGGU, 28 AGUSTUS 2011

UJILAH AKU

Ujilah aku, ya TUHAN, dan cobalah aku; selidikilah batinku dan hatiku. Sebab mataku tertuju pada kasih setia-Mu, dan aku hidup dalam kebenaran-Mu. (Mazmur 26:2,3).

Siapa sih yang senang terhadap ujian? Siapa sih yang senang dengan cobaan? Tidak ada yang menginginkannya. Banyak orang ingin menghindarinya. Misalnya, seorang yang ingin mendapat SIM lebih memilih ‘membayar lebih’ daripada harus melewati ujian kemampuan berkendaraan. Seorang yang ingin mendapat gelar, memilih jalan curang –memalsukan tugas akhir atau dikerjakan orang lain- supaya dapat melewati ujian. Ujian dianggap menakutkan. Sehingga harus dihindari.

Tetapi ujian ada perlunya. Bayangkan tanpa ujian, siapakah yang akan naik kelas? Siapakah yang dinyatakan layak untuk mendapat gelar? Siapakah yang dinyatakan memiliki ketrampilan yang cukup. Ujian adalah kesempatan menunjukkan kemampuan dan kelayakan.

Demikian pula dalam hal iman. Ada kalanya ujian memang diperlukan. Meski kita siap atau tidak siap. Ujian kehidupan harus dihadapi. Entah dalam rupa kesusahan hidup, ataupun kesenangan yang kita peroleh. Mengapa?

Pertama, ujian menunjukkan kelayakan diri
Ujian dan cobaan justru menunjukkan kelayakan dan kepantasan kita. Jika kita disebut anak Allah, sudahkah kita menunjukkan dalam sikap hidup kita? Bagaimana sikap kita saat menghadapi kesusahan? Apakah kita tetap mampu bersyukur? Di sini ujian adalah kesempatan untuk membuktikan kelayakan dan kepantasan kita.

Kedua, ujian menunjukkan kualitas iman.
Emas harus dipanaskan untuk dimurnikan. Air garam harus dijemur untuk menjadi garam. Demikian iman hrus mengalami ujian untuk mendapatkan kualitas terbaik. Melalui ujian akan tampak iman yang sejati atau iman yang palsu. Seberapa baikkah kualitas iman? Iman yang sejati adalah iman yang tahan uji. Inilah iman dengan kualitas tertinggi. Seperti Yesus telah melewati dalam ujian di taman Getsemani.

Ketiga, ujian menunjukkan kedewasaan atau pertumbuhan.
Di sekolah, ujian tidak pernah sekali. Ada banyak ujian dan semakin lama justru semakin sukar. Tidak pernah semakin mudah. Ujian sarjana tidak lagi, satu ditambah satu sama dengan dua. Ba ditambah bi sama dengan babi. Jauh lebih sulit, karena ujian menunjukkan tingkat pertumbuhan. Demikian pula ujian menunjukkan tingkat pertumbuhan iman, lebih tepatnya kedewasaan iman. Memang ujian hidup semakin sulit, tetapi berarti pula semakin tumbuh dan dewasa.

Untuk itulah pemazmur dengan berani berkata, “Ujilah aku, ya TUHAN, dan cobalah aku; selidikilah batinku dan hatiku.” Ia tidak bermaksud menyombongkan diri. Tetapi ia ingin menjadikan ujian sebagai kesempatan untuk melihat diri. Ia berusaha berefleksi, tidak menghindari.

Pemazmur dengan siap menghadapi ujian. Ia membuktikan kelayakan diri. Ia menunjukkan kualitas iman. Ia pun merasakan pengenalan akan Allah yang semakin bertambah. Hingga ia mengaku, “sebab mataku tertuju pada kasih setia-Mu, dan aku hidup dalam kebenaran-Mu.”

Beranikah kita berkata, “ujilah aku”? Amin.  

Renungan 21 Agustus 2011


MENJADI SAKSI MESIAS DI TENGAH BANGSA

Lalu Yesus bertanya kepada mereka: "Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?" Maka jawab Simon Petrus: "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!" (Matius 16:15-16).

Inilah pengakuan Simon Petrus. Jujur, blak-blakan dan tidak dibuat-buat. Menurutnya, Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup. Dan Yesus membenarkannya. Betapa bahagianya! Petrus tidak salah kira. Petrus tidak salah sangka. Ia ternyata benar tentang siapa Yesus yang selama ini diikutinya.

Dan bukan hanya ia bangga dengan perasaannya. Yesus sendiri pun menyebutnya berbahagia. “Berbahagialah Engkau Simon bin Yunus…” (Matius 16:17). Bahkan Yesus menegaskan berkat atas dirinya : Engkau adalah Petrus! Artinya Yesus mengganti nama lama Simon menjadi nama baru Petrus yang berarti ‘batu karang’. Lalu Yesus melanjutkan : di atas ‘batu karang’ ini Aku akan mendirikan jemaatKu. Yesus menyatakan bahwa Petrus mendapat bagian dalam kerajaan Allah. Petrus mendapat bagian dari karya penyelamatan Allah. Dan lebih hebat lagi, Yesus memberi berkat khusus kepadanya : “Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.” (Matius 16:19).

Sungguh bahagianya Petrus! Ia dipuji dan diberkati Allah oleh karena pengakuannya. Tetapi jangan berhenti di sana. Kita kecewa ketika melihat kisah perjalanan Petrus selanjutnya. Tidak jauh-jauh, Matius di pasal yang sama, ayat 23 menceritakan, “Maka Yesus berpaling dan berkata kepada Petrus: "Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia."

Betapa mengejutkan! Dari sebutan Petrus berubah sebutan Iblis. Dari batu karang berganti menjadi batu sandungan. Apa yang salah dalam diri Petrus? Mengapa perubahan terjadi begitu cepat? Bukan pada pengakuannya. Sebab pengakuannya benar sepenuhnya. Bukan pula pada kesungguhannya. Karena Petrus tulus dan blak-blakan apa adanya.

Melainkan karena Petrus lupa, apa yang menjadi ‘sumber’ pengakuannya. Yesus mengatakan, “sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan BapaKu yang di sorga.” (Matius 16:17).  Petrus lupa bahwa pengakuan itu bukan hasil akal budi, melainkan kasih karunia.

Setiap orang yang mengakui Mesias, seharusnya menyadarinya. Supaya ia rendah hati, bukan puas diri. Tuhan telah menyatakan diriNya kepada seorang nelayan, bukan kepada cendikiawan. Justru kepada pribadi seperti ini Tuhan percayakan segala panggilan pelayananNya. Supaya dalam kesederhanaan dan keterbatasan, manusia menghayati ‘apa yang dipikirkan Allah’.

Namun Petrus khilaf. Ia merasa puas diri dengan pengakuan. Namun bukan dalam pengenalan. Padahal pengakuan di mulut tidak pernah cukup, harus dinyatakan dalam kepenuhan hidup. Bahkan Tuhan sendiri menuntut memikul salib dan menyangkal diri. Inilah pengakuan iman yang sejati.

Akhirnya, mengaku itu memang perlu. Bahkan pengakuan Petrus layak kita tiru. Tetapi jangan cukup berhenti di situ. Pengakuan harus diikuti sebuah pengenalan. Bila tidak, pengakuan bisa jadi bumerang. Seperti yang Petrus alami, dari ‘batu karang’ bisa jadi ‘batu sandungan’. Sayang… Amin