RENUNGAN MINGGU, 28 AGUSTUS 2011
UJILAH
AKU
Ujilah aku, ya TUHAN, dan cobalah aku; selidikilah
batinku dan hatiku. Sebab mataku tertuju pada kasih setia-Mu, dan aku hidup
dalam kebenaran-Mu. (Mazmur 26:2,3).
Siapa sih yang senang terhadap ujian? Siapa sih yang senang dengan cobaan? Tidak ada
yang menginginkannya. Banyak orang ingin menghindarinya. Misalnya, seorang yang
ingin mendapat SIM lebih memilih ‘membayar lebih’ daripada harus melewati ujian
kemampuan berkendaraan. Seorang yang ingin mendapat gelar, memilih jalan curang
–memalsukan tugas akhir atau dikerjakan orang lain- supaya dapat melewati
ujian. Ujian dianggap menakutkan. Sehingga harus dihindari.
Tetapi ujian ada
perlunya. Bayangkan tanpa ujian, siapakah yang akan naik kelas? Siapakah yang
dinyatakan layak untuk mendapat gelar? Siapakah yang dinyatakan memiliki
ketrampilan yang cukup. Ujian adalah kesempatan menunjukkan kemampuan dan
kelayakan.
Demikian pula dalam
hal iman. Ada
kalanya ujian memang diperlukan. Meski kita siap atau tidak siap. Ujian
kehidupan harus dihadapi. Entah dalam rupa kesusahan hidup, ataupun kesenangan
yang kita peroleh. Mengapa?
Pertama, ujian menunjukkan kelayakan diri
Ujian dan cobaan
justru menunjukkan kelayakan dan kepantasan kita. Jika kita disebut anak Allah,
sudahkah kita menunjukkan dalam sikap hidup kita? Bagaimana sikap kita saat
menghadapi kesusahan? Apakah kita tetap mampu bersyukur? Di sini ujian adalah
kesempatan untuk membuktikan kelayakan dan kepantasan kita.
Kedua, ujian menunjukkan kualitas iman.
Emas harus dipanaskan
untuk dimurnikan. Air garam harus dijemur untuk menjadi garam. Demikian iman
hrus mengalami ujian untuk mendapatkan kualitas terbaik. Melalui ujian akan
tampak iman yang sejati atau iman yang palsu. Seberapa baikkah kualitas iman? Iman
yang sejati adalah iman yang tahan uji. Inilah iman dengan kualitas tertinggi.
Seperti Yesus telah melewati dalam ujian di taman Getsemani.
Ketiga, ujian menunjukkan kedewasaan atau pertumbuhan.
Di sekolah, ujian
tidak pernah sekali. Ada
banyak ujian dan semakin lama justru semakin sukar. Tidak pernah semakin mudah.
Ujian sarjana tidak lagi, satu ditambah satu sama dengan dua. Ba ditambah bi
sama dengan babi. Jauh lebih sulit, karena ujian menunjukkan tingkat
pertumbuhan. Demikian pula ujian menunjukkan tingkat pertumbuhan iman, lebih
tepatnya kedewasaan iman. Memang ujian hidup semakin sulit, tetapi berarti pula
semakin tumbuh dan dewasa.
Untuk
itulah pemazmur dengan berani berkata, “Ujilah
aku, ya TUHAN, dan cobalah aku; selidikilah batinku dan hatiku.” Ia tidak
bermaksud menyombongkan diri. Tetapi ia ingin menjadikan ujian sebagai kesempatan
untuk melihat diri. Ia berusaha berefleksi, tidak menghindari.
Pemazmur
dengan siap menghadapi ujian. Ia membuktikan kelayakan diri. Ia menunjukkan
kualitas iman. Ia pun merasakan pengenalan akan Allah yang semakin bertambah.
Hingga ia mengaku, “sebab mataku tertuju
pada kasih setia-Mu, dan aku hidup dalam kebenaran-Mu.”
Beranikah
kita berkata, “ujilah aku”? Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar