Senin, 17 Oktober 2011

Renungan 16 Oktober 2011


TUNJUKKAN AKSIMU

Tetapi Yesus mengetahui kejahatan hati mereka itu lalu berkata: "Mengapa kamu mencobai Aku, hai orang-orang munafik? Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah."(Matius 22:18,21b)

Gajah diblangkoni, iso ujar ora bisa nglakoni. Inilah pepatah jawa bagi orang yang hanya bisa mengucapkan tetapi tidak bisa melakukan. Hanya tahu sebatas teori tetapi tidak pernah mempraktekkan. Menurut Yesus, inilah tingkah laku munafik. Tidak satunya kata dan perbuatan. Lain di mulut lain di hati. Lain pula yang dijalani.

Demikian pula pertanyaan, “bolehkah membayar pajak kepada kaisar?” Sebenarnya bukan ditanyakan dengan hati. Tetapi sekedar ingin mengetahui (bahkan menjerat Yesus).  Bila dijawab ‘boleh’, maka tampaklah Yesus sebagai antek penjajah. Bila dikatakan ‘tidak boleh’ maka Yesus dianggap melawan pemerintah. Sungguh serba salah!

Tetapi Yesus memberi jawaban tepat. Bukan terjebak boleh dan tidak boleh. Melainkan "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah."Yesus menuntut kesadaran bahwa kita memiliki kewajiban, baik kepada kaisar maupun kepada Tuhan. Harus dibedakan tetapi tidak harus dipertentangkan.

Di sini, bukan sekedar masalah aturan (boleh atau tidak boleh). Melainkan kenalilah dulu kehendak Tuhan, maka kita tahu apa yang harus kita lakukan baik kepada penguasa atau kepada siapa saja.

Yang dapat kita pelajari dari kemunafikan adalah :

Pertama. Jangan terjebak aturan.
Mengapa orang menjadi munafik? Karena aturan menjadi beban. Aturan menjebak seakan masalah ‘boleh dan tidak boleh’. Mana kewajiban dan mana pelanggaran. Justru di sinilah aturan tidak lagi dihormati. Bahkan aturan dimanipulasi. Tuhan menghendaki pengenalan supaya kita melakukan segala sesuatu dengan penuh tanggung jawab dan  pengertian. Aturan yang hanya menuntut ketundukkan dan menjadi beban justru membuat hidup dalam kemunafikan. Maka kenalilah kehendak Tuhan dengan penuh hikmat dan pengertian!

Kedua, jangan terjebak pada alasan.
Untuk melakukan sesuatu membutuhkan dorongan (motivasi). Tetapi untuk tidak melakukan sesuatu membutuhkan alasan (argumentasi). Betapa sering orang lebih senang mencari alasan daripada dorongan. Kebanyakan untuk membenarkan tindakannya. Inilah orang yang munafik. Terlalu banyak beralasan. Akhirnya hanya mampu mengucapkan kebenaran tetapi yang dilakukan justru kejahatan. Entah dengan dalih pertimbangan, tetapi justru berbuah pada pembenaran (tepatnya: dibenar-benarkan). Demikian pula orang Farisi dan Herodian, berusaha mencari alasan. Tetapi mental seperti itu justru menampilkan kepalsuan. Wajarlah lalu mereka membenci kepada Yesus yang blak-blakan. Pribadi yang tidak dibuat-buat dan apa adanya. Jadi, carilah dorongan, jangan alasan!

Bagaimana dengan keluarga kita?
·         Sudahkah kita bersama keluarga sungguh-sungguh mengenal kehendak Tuhan? Pengenalan akan Tuhan hanya didapati dalam kehidupan persekutuan, bukan sekedar memaksakan aturan ‘boleh dan tidak boleh’.
·         Sudahkah hidup kita dipenuhi motivasi, bukan argumentasi? Dorongan untuk melakukan apa yang kita ucapkan, bukan alasan untuk membenarkan yang tidak kita lakukan.

Kisah di atas menunjukkan, setiap kemunafikan hanya menghasilkan kepalsuan dan jebakan. Apapun aturannya. Apa pun alasannya. Karena Tuhan tahu benar, kemunafikan hanya sekedar tampil manis di muka, tetapi untuk sementara. Kemunafikan tidak dapat membuat hidup berubah, apalagi tumbuh dan berbuah.

Jangan menjadi munafik! Usahakan hidup berkeluarga dalam dorongan dan pengenalan kehendak Tuhan. Pasti berubah. Pasti berbuah. Amin.

Selasa, 11 Oktober 2011

Renungan 9 Oktober 2011


MENGUPAYAKAN IDENTITAS HIDUP KELUARGA DENGAN GEMBIRA

Sesudah itu ia berkata kepada hamba-hambanya: Perjamuan kawin telah tersedia, tetapi orang-orang yang diundang tadi tidak layak untuk itu. Sebab itu pergilah ke persimpangan-persimpangan jalan dan undanglah setiap orang yang kamu jumpai di sana ke perjamuan kawin itu. (Matius 22 : 8,9)

Bagaimanakah perasaan kita bila diundang acara resepsi pernikahan? Senang atau susah? Tentunya kita akan merasakan senang. Kita merasa dihargai dan dikaruhke. Satu-satunya alasan sedih menerima undangan resepsi adalah kita bingung untuk nyumbang. Tetapi itu pun tidak seharusnya terjadi. Karena maksud undangan resepsi adalah berbagi kebahagiaan, bukan menjadi beban supaya memberi sumbangan. Di sini yang terpenting kehadiran, bukan amplopan. Begitu bukan?!

Jadi bisa dibayangkan begitu kecewanya sang Raja dalam perumpamaan di atas. Ia adalah seorang raja yang mengadakan resepsi untuk anaknya. Ia telah memilih dan mengundang tamu khusus. Ia telah menyediakan jamuan yang istimewa. Tetapi justru undangan itu ditolak dan diabaikan!
Bukankah suatu kejanggalan? Ah, seandainya kita diundang perjamuan di istana, apakah perasaan kita? Pasti bangga! Kita merasa dikenal oleh sang penguasa (baca:raja). Kita akan menyambut persiapan supaya tidak tampil memalukan. Bahkan kita tidak sabar, menunggu waktu untuk hadir dan mengambil bagian dalam resepsi pernikahan.

Tetapi apa yang terjadi? Dalam perumpamaan dikisahkan para tamu justru memilih pergi ke ladang. Para undangan mengabaikan dengan sibuk mengurusi dagangan. Bahkan ada pula menyiksa dan membunuh para utusan. Sungguh keterlaluan! Sebenarnya Sang Raja belum habis kesabaran. Ia pun mengundang banyak orang yang ditemui di setiap persimpangan. Orang baik maupun jahat berdatangan memenuhi ruang perjamuan. Tetapi lagi-lagi dijumpai orang yang tidak melayakkan diri. Ia menyepelekan karena asal berpakaian. Sungguh keterlaluan!

Tetapi inilah teguran bagi kehidupan kita. Ketika urusan kita masing-masing menjadi begitu penting melampaui perjamuanTuhan (baca:keluarga). Ketika kita mengabaikan keluarga oleh karena kesibukan. Padahal Tuhan menjadikan keluarga untuk berbagi kebahagiaan, bukan untuk memberi beban. Lebih-lebih kita pun menyepelekan. Asal datang, tetapi tidak dengan persiapan. Tidak menguji dan melayakan diri. Ibarat hidup di sebuah rumah tetapi tidak mengambil peran apapun. Tidak peduli apalagi perhatian. Sesungguhnya kita pun telah melakukan tindakan yang tidak kalah keterlaluan.

Bersamaan pembukaan Bulan Keluarga, bacaan ini menggambarkan ‘perjamuan sebagai kehidupan rumah tangga’. Tuhanlah yang meneguhkan pernikahan kita. Tuhanlah yang memberkati perkawinan kita. Lalu adakah waktu untuk perjamuan keluarga? Atau lebih sibuk dengan urusan sendiri-sendiri dan tersita dengan kegiatan pribadi-pribadi? Hingga malah mengabaikan Tuhan yang membangun keluarga kita.

Ingatlah, Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya; (Mazmur 127:1). Rumah tangga ibarat undangan perjamuan Tuhan. Kita disatukan olehNya untuk berkumpul dan berbagi kebahagian. Jangan diabaikan, jangan disepelekan dan jangan dijadikan beban. Sungguh suatu kehormatan bila Tuhan berkenan mengundang dan menjadi kepala perjamuan.

Tanpa Tuhan tidak ada rumah tangga bahagia. Selamat menghayati Bulan Keluarga 2011. Amin.