MENGUPAYAKAN
IDENTITAS HIDUP KELUARGA DENGAN GEMBIRA
Sesudah itu ia berkata kepada hamba-hambanya: Perjamuan kawin telah
tersedia, tetapi orang-orang yang diundang tadi tidak layak untuk itu. Sebab
itu pergilah ke persimpangan-persimpangan jalan dan undanglah setiap orang yang
kamu jumpai di sana ke perjamuan kawin itu. (Matius
22 : 8,9)
Bagaimanakah perasaan kita bila diundang acara resepsi pernikahan?
Senang atau susah? Tentunya kita akan merasakan senang. Kita merasa dihargai
dan dikaruhke. Satu-satunya alasan
sedih menerima undangan resepsi adalah kita bingung untuk nyumbang. Tetapi itu pun tidak seharusnya terjadi. Karena maksud
undangan resepsi adalah berbagi kebahagiaan, bukan menjadi beban supaya memberi
sumbangan. Di sini yang terpenting kehadiran, bukan amplopan. Begitu bukan?!
Jadi bisa dibayangkan begitu kecewanya sang Raja dalam perumpamaan di
atas. Ia adalah seorang raja yang mengadakan resepsi untuk anaknya. Ia telah
memilih dan mengundang tamu khusus. Ia telah menyediakan jamuan yang istimewa.
Tetapi justru undangan itu ditolak dan diabaikan!
Bukankah suatu kejanggalan? Ah, seandainya kita diundang perjamuan di
istana, apakah perasaan kita? Pasti bangga! Kita merasa dikenal oleh sang
penguasa (baca:raja). Kita akan menyambut persiapan supaya tidak tampil
memalukan. Bahkan kita tidak sabar, menunggu waktu untuk hadir dan mengambil
bagian dalam resepsi pernikahan.
Tetapi apa yang terjadi? Dalam perumpamaan dikisahkan para tamu justru
memilih pergi ke ladang. Para undangan mengabaikan dengan sibuk mengurusi
dagangan. Bahkan ada pula menyiksa dan membunuh para utusan. Sungguh
keterlaluan! Sebenarnya Sang Raja belum habis kesabaran. Ia pun mengundang
banyak orang yang ditemui di setiap persimpangan. Orang baik maupun jahat
berdatangan memenuhi ruang perjamuan. Tetapi lagi-lagi dijumpai orang yang
tidak melayakkan diri. Ia menyepelekan karena asal berpakaian. Sungguh
keterlaluan!
Tetapi inilah teguran bagi kehidupan kita. Ketika urusan kita
masing-masing menjadi begitu penting melampaui perjamuanTuhan (baca:keluarga).
Ketika kita mengabaikan keluarga oleh karena kesibukan. Padahal Tuhan
menjadikan keluarga untuk berbagi kebahagiaan, bukan untuk memberi beban.
Lebih-lebih kita pun menyepelekan. Asal datang, tetapi tidak dengan persiapan.
Tidak menguji dan melayakan diri. Ibarat hidup di sebuah rumah tetapi tidak mengambil
peran apapun. Tidak peduli apalagi perhatian. Sesungguhnya kita pun telah
melakukan tindakan yang tidak kalah keterlaluan.
Bersamaan pembukaan Bulan Keluarga, bacaan ini menggambarkan ‘perjamuan
sebagai kehidupan rumah tangga’. Tuhanlah yang meneguhkan pernikahan kita.
Tuhanlah yang memberkati perkawinan kita. Lalu adakah waktu untuk perjamuan
keluarga? Atau lebih sibuk dengan urusan sendiri-sendiri dan tersita dengan
kegiatan pribadi-pribadi? Hingga malah mengabaikan Tuhan yang membangun
keluarga kita.
Ingatlah, Jikalau bukan TUHAN yang
membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya; (Mazmur 127:1).
Rumah tangga ibarat undangan perjamuan Tuhan. Kita disatukan olehNya untuk
berkumpul dan berbagi kebahagian. Jangan diabaikan, jangan disepelekan dan
jangan dijadikan beban. Sungguh suatu kehormatan bila Tuhan berkenan mengundang
dan menjadi kepala perjamuan.
Tanpa Tuhan tidak ada rumah tangga bahagia. Selamat menghayati Bulan
Keluarga 2011. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar