Jumat, 30 September 2011

Renungan 2 Oktober 2011


Terus Memberitakan Karya Pembebasan Allah bagi Semua


Sebab itu, Aku berkata kepadamu, bahwa Kerajaan Allah akan diambil dari padamu dan akan diberikan kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan buah Kerajaan itu. (Matius 21:43)

Dikisahkan adalah seorang tuan tanah yang memiliki kebun anggur. Kemudian dia menyerahkan kebun anggur itu kepada para penyewa untuk digarap oleh mereka. Jadi dialah yang paling berhak atas kebun anggur itu, sedangkan yang lain hanyalah penyewa.

Ketika saat musim petik tiba, diutusnya para hamba untuk mengambil bagiannya. Tetapi bukan mendapat sambutan, melainkan penganiayaan dan pembunuhan. Sang tuan tanah kembali mengirim hambanya untuk kedua kali. Dan lagi-lagi hamba-hambanya mendapat perlakuan sama. Lagi-lagi dibunuh dan dianaya.

Cerita belum berhenti di situ. Kali ini sang tuan tanah mengirimkan anaknya. Terlintas di benak sang tuan tanah bahwa para penyewa akan menjadi segan untuk memperlakukan semena-mena. Tetapi tidak disangka, kejahatan justru semakin merajalela. Sang putra pun dibunuh mereka pula.

Sungguh menceritakan kejahatan sempurna. Bukan sekali dua kali, hingga tiga kali. Tidak terlintas untuk terhenti, hingga sang putra ahli waris pun turut dihabisi. Apakah maksud dari perumpamaan ini?

Pertama, kejahatan memang perkasa
Kejahatan dapat bertindak semena-mena kepada siapa saja. Ia dapat merusak dan merajalela. Seakan tidak terkendali  dan semakin menjadi-jadi. Ingatkah kasus korupsi yang sekarang ditemui segala segi? Ingatkah kasus kekerasan yang tidak akan berhenti? Sampai-sampai kita menjadi terbiasa dan mati rasa. Itu bukan urusan kejahatan lagi, karena sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Kejahatan memang sangat perkasa! Supaya kita jangan kaget dan heran. Memang demikian kenyataan kejahatan.

Kedua, tetapi kejahatan tidak berkuasa
Bersiap-siaplah menghadapi kejahatan. Ia memang perkasa. Tetapi sadarilah juga bahwa kejahatan tidak berkuasa. Kejahatan pasti akan kalah. Kejahatan pasti akan menyerah. Sebesar dan semasif apapun bentuknya, kejahatan pasti binasa. Di akhir cerita dikisahkan, “Ia (baca: tuan tanah) akan membinasakan orang-orang jahat itu dan kebun anggurnya akan disewakannya kepada penggarap-penggarap lain, yang akan menyerahkan hasilnya kepadanya pada waktunya." (ayat 41). Mereka telah membunuh ahli waris, tetapi jangan dikira mereka akan dapat memiliki tanah. Justru kejahatan terhadap sang putra menjadi ‘titik balik’ bahwa mereka pun akan mendapat pembalasan. Mereka pun dibinasakan!

Betapa kasih Allah tidak pernah kalah. Ia bisa dihalangi oleh kejahatan. Bahkan seakan dihentikan oleh kejahatan. Jangan kaget melihat kenyataan perkasanya kejahatan! Tetapi kasih Allah tidak pernah mati. Ia tetap akan terus berdiri. Bagaikan terang menerangi kegelapan. Sekuat apa pun kegelapan tidak akan pernah mematikan cahaya. Kasih akan tetap bersinar betapa pun kecilnya!

Kejahatan memang perkasa, tetapi tidak berkuasa. Kejahatan pasti binasa. Karena sebenarnya setiap kejahatan memiliki benih yang merusak diri sendiri. Sekejap terkesan jumawa, namun semakin bertumbuh besar, juga kerusakannya  akan semakin lebar. Dan puncaknya mereka pasti hancur, luluh lantak tak bersisa. Para penyewa merasa dengan membunuh ia semakin kuat dan perkasa. Bahkan dengan membunuh sang putra ia akan semakin ditakuti dan disegani. Salah besar! Di sanalah pula ia akan kehilangan segala-galanya.

Camkan kata Tuhan Yesus, “Sebab itu, Aku berkata kepadamu, bahwa Kerajaan Allah akan diambil dari padamu dan akan diberikan kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan buah Kerajaan itu.” (ayat 43)

Jangan bertindak jahat! Atau kita binasa dan kehilangan segala-galanya... Amin.

Rabu, 28 September 2011

Renungan 25 September 2011



TUHAN MEMIMPIN HIDUPKU

Kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah.
(Matius 21:31)

Dua timba berjumpa di bibir sumur. Wajah timba pertama tampak murung.
“Ada apa?” tanya timba kedua.
“Saya merasa  lelah sekali”, ujarnya, “setiap kali perut saya penuh, saya selalu dibawa ke bawah dalam keadaan perut kosong.’
“ah, sobat, jangan terlalu dipikirkan. Cobalah membalik sudut pandangmu. Kamu dibawa ke sumur dengan perut kosong. Ketika kamu dibawa naik ke permukaan, perutmu penuh kembali!’

Satu peristiwa tetapi dengan dua sudut pandang yang berbeda menghasilkan pemahaman yang berbeda pula. Satu lebih pesimis sedangkan yang satu optimis. Bagaimana dengan perkatan Tuhan Yesus di atas?

Bagi  imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi,ucapan Yesus terdengar begitu menyakitkan. Bayangkan, selama ini merekalah yang merasa hidup taat memenuhi hukum agama. Kok, tega-teganya Tuhan Yesus mengatakan mereka ‘didahului’ oleh perempuan sundal dan pemungut cukai. Jelas mereka merasa menang dan unggul dalam kesalehan. Merekalah yang merasa paling berhak atas kerajaan Allah. Jadi, ucapan Yesus tidak adil. Bahkan seakan kerajaan Allah begitu ‘rendah’. Sehingga menyingung dan membuat sakit hati!

Tetapi coba kita lihat dari sudut pandang yang berbeda. Bukankah ucapan Yesus justru membuktikan kerajaan Allah begitu indah –bukan rendah-? Bayangkan, bahwa kasih Allah begitu besar sehingga menjangkau orang yang paling hina sekalipun. Pemungut cukai dan perempuan sundal pun dapat masuk kerajaan Allah! Allah selalu membuka pintu, dan tidak memperhitungkan dosa di masa lalu.

Di sini jugalah perbedaannya. Ya, di sudut pandang! Ucapan Yesus terasa menyakitkan justru bagi orang yang ‘cemburu’. Orang yang tidak mau disaingi dan mau menang sendiri. Yang -sadar atau tidak- biasanya lambat laun merasa menjadi paling suci. Orang seperti ini biasanya menganut hukum ‘saya benar’ maka ‘anda pasti salah’.

Itulah sebabnya mereka menolak Yesus. Mereka pura-pura mempertanyakan kuasaNya. Mereka pura-pura meragukan mujizatNya. Dan ujung-ujungnya sepakat menyatakan Yesus sebagai perusuh sehingga layak itu dibunuh. Padahal persoalan sebenarnya, merekalah yang tidak mampu melihat begitu besarnya kasih Allah! Tidak bisa memahami Allah yang sungguh Pemurah! Sungguh sayang sekali…

Kepada mereka, Tuhan Yesus dengan keras menegur, “Dan meskipun kamu melihatnya, tetapi kemudian kamu tidak menyesal dan kamu tidak juga percaya kepadanya", (ayat 32). Di sinlah persoalannya : menyesal dan percaya!

Orang yang tidak menyesal biasanya merasa paling benar. Lha wong tidak ada yang salah, apa yang disesalkan? Lha wong merekalah yang ‘dipercaya’, apa lagi yang harus dipercaya? Demikian pemahaman mereka. Tetapi justru mereka malah menolak kemurahan Allah. Mereka mengabaikan bahwa masih begitu luas ruang bagi manusia untuk diterima di hadapanNya.

Keyakinan merasa benar sendiri akan membuat kita puas sendiri dan terhenti sama sekali. Justru di sanalah kita ‘didahului’. Kita menjadi tertinggal dan menjadi ‘juru kunci’. Tragis, bukan? Itu pun belum cukup, karena tanpa percaya dan penyesalan, kita bukan hanya lagi terbelakang dan bahkan bisa jadi kita terhilang. Menyesallah dan percayalah! Amin.

Renungan 18 September 2011



HIDUP BERARTI MEMBERI BUAH

Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati? 
(Matius  20:15)

Sungguh seakan Tuhan tidak adil. Setiap pekerja punya jam bekerja berbeda, tetapi ternyata Tuhan memberikan upah yang sama. Padahal ada yang bekerja sejak pagi hari, ada yang bekerja hanya satu jam. Seharusnya yang bekerja lebih lama berhak mendapat lebih banyak. Inilah prinsip keadilan. Bahasa latinnya ‘suum cuique’, yang berarti setiap orang memperoleh haknya masing-masing.

Lalu mengapa Tuhan justru seakan berpihak kepada pemilik kebun anggur? Masalah sebenarnya bukan pada keadilan. Perhatikan ucapan pemilik kebun anggur, “Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?” (ayat 15). Di situlah letak pangkal masalahnya : Iri hati! Ingatkah kita dengan perumpamaan “Anak yang Hilang”? Si anak sulung juga iri hati. Ia merasa diperlakukan tidak adil.  Ia marah terhadap kemurahan hati sang Bapa terhadap adiknya.

Sumber iri hati tidak lain adalah persoalan ‘berhak’ yang salah kaprah. Para pekerja kebun anggur itu protes karena merasa berhak memperoleh upah lebih banyak. Si sulung protes, karena merasa berhak disambut lebih meriah. Yang satu merasa telah bekerja lebih keras. Yang lain lain merasa telah berkelakuan lebih baik.
Tuhan menjungkirbalikkan perasaan  ‘berhak’ mereka. Mereka menyangka dirinya ‘berhak’, padahal tidak. Mereka tidak tahu apa yang mereka katakan. Sebab kalau kita berbicara tentang ‘hak’, maka satu-satu ‘hak’ yang dimiliki oleh manusia hanya satu: hak untuk dibinasakan Allah! Yang akan terjadi adalah Allah membawa semua manusia ke dalam api abadi karena pelanggarannya. 

Syukurlah Tuhan tidak Cuma ‘adil’. Dia juga murah hati. Bayangkan, seandainya keadilan dunia hanya dibatasi oleh karena hak atas dasar jasa dan prestasi, lalu bagaimana bila orang sudah renta dan tidak mampu lagi menghasilkan apa-apa? Bagaimana dengan orang yang cacat fisik ataupun jiwa sehingga tidak mungkin lagi bekerja? Hilanglah ‘hak’ mereka sebagai ‘manusia’!

‘Keadilan’ Allah memang berbeda. Dasarnya bukan pada ‘hak’, tetapi pada ‘kemurahan hati’. Sikap dasarnya bukan menuntut tetapi memberi. Karena itu bukan masing-masing menerima berdasarkan jasa dan prestasinya, tetapi masing-masing menerima berdasarnya kebutuhannya.

Sekarang kita dapat mengerti, mengapa yang bekerja satu jam memperoleh sama dengan yang bekerja sembilan jam. Mereka masing-masing menerima satu dinar. Itu adalah biaya kebutuhan hidup pokok orang satu hari. Artinya, dalam hal yang menyangkut kebutuhan dasar untuk hidup layak sebagai manusia, semua orang berhak mendapatkan ‘satu dinar’.

Jadi misalnya kita membayar kelas VIP di rumah sakit. Tentu kita berhak memperoleh kamar yang lebih nyaman dibandingkan dengan mereka yang membayar untuk kelas tiga. Ini adil. Tetapi dalam hal pelayanan kesehatan, semua orang berhak untuk mendapatkan ‘satu dinar’. Setiap orang berhak mendapat penanganan yang sama. Tidak peduli kita orang kaya yang bisa memborong seluruh ruangan rumah sakit, atau kita cuma pasien ‘kelas tiga’. Amin


Renungan 11 September 2011


HIDUP UNTUK TUHAN

 Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan. (Roma 14:8)


Suatu hari, ada seorang yang diberi kesempatan bertemu kepada Tuhan. Tuhan berkata, "Jadi engkau ingin bercakap dengan Aku?" Jawab orang itu, "Jika Engkau mempunyai waktu." Tuhan pun tersenyum. "Waktu-Ku adalah abadi."

Lanjut perkataan Tuhan, "apa yang ingin kau tanyakan kepada-Ku?" Orang itu berpikir sejenak lalu bertanya, "apa yang membuat Tuhan heran dan geli saat melihat kehidupan manusia?"
Tuhan menjawab, "Manusia lahir, tetapi segera bosan dan tidak sabar dengan masa kecil mereka sendiri. Mereka ingin berkembang dan dianggap dewasa. Tetapi saat mereka telah dewasa malah bersikap anak-anak lagi."

"Manusia itu selalu kuatir akan masa depan. Lalu lupa akan hidupnya yang dijalani sekarang. Ia tidak lagi mensyukuri hidupnya saat ini. Lalu tidak jelas lagi, di mana kehidupannya. Hidup sekarang tidak, hidup bagi masa depan pun tidak."

"Manusia terkadang bekerja terlalu keras. Mereka hidup untuk mengumpulkan uang, hingga sering tidak lagi merawat kesehatannya. Mereka kehilangan kesehatan pada masa mudanya. Kemudian mereka akan kehabisan lagi uangnya untuk memulihkan kesehatannya."

Lalu Tuhan berkata begitu pelan, "akhirnya manusia menjalani hidupnya menjadi begitu kabur. Mereka hidup seakan tidak pernah mati, tetapi mati seakan tidak pernah merasakan hidup."
Orang itu terdiam sejenak. Tertunduk malu. Tuhan menggandeng tangannya dengan erat. "Tuhan, sebagai Bapa, apa yang Tuhan ingin sampaikan kepada manusia?" Tuhan menjawab lembut, "Bahwa Aku selalu ada bersama mereka!"

Percakapan yang begitu menyentuh. Betapa hidup menjadi tidak berarti bila kita salah orientasi. Kita salah menentukan tujuan. Betapa pun luhurnya keinginan kita, bahkan betapa pun mulianya harapan kita, tanpa Tuhan hidup seringkali menjadi tragedi. Sebab manusia tidak mungkin hidup tanpa Allah.
Marilah belajar alasan dasar –bahkan tidak ada pilihan- bahwa hidup untuk Tuhan :

 
Pertama, hidup adalah milik Tuhan
Hidup memang diberikan kepada kita. Kita memang dianugerahi kehidupan. Tetapi kita tidak memiliki kehidupan. Kita tidak berkuasa atas kehidupan kita sendiri. Kita tidak bisa memilih kapan kita akan dilahirkan. Demikian pula kita tidak dapat menentukan kapan kita akan menerima kematian. Hidup adalah milik Tuhan. Jadi kita kita hidup adalah suatu kesempatan sepanjang hidup untuk mengenal Tuhan.

Kedua, hidup adalah rancangan Tuhan
Tuhan yang memberi hidup, Tuhan juga yang memiliki rancangan kehidupan bagi diri kita. Jika hidup tidak bagi Tuhan, berarti kita hidup bagi rancangan siapa? Ketika kita hidup dengan rancangan kita sendiri, sebenarnya kita sudah salah jalan. Bayangkan, bila telah diciptakan sebuah raket badminton tetapi malah untuk 'gebuk' kasur. Aneh, bukan?! Demikian pula bila kita menjalani hidup tidak sesuai dengan kehendak pencipta kita. Hidup menjadi salah bahkan membuat banyak masalah.

Ketiga, hidup menjadi penuh dalam Tuhan
Karena hidup adalah milik Tuhan. Maka hidup akan penuh bila dijalani bersama Tuhan. Hidup terasa utuh jika dinikmati bersama Tuhan. Raket akan menjadi tepat bila di tangan atlet. Di tangan koki, boleh jadi menjadi barang tidak berguna. Demikian hidup kita terasa sempurna di tangan Sang Pencipta. Hidup kita akan menjadi berharga karena di tangan yang tepat. Raket itu akan mendatangkan banyak medali. Demikian hidup penuh di dalam Tuhan akan mendatangkan banyak berkat bagi orang lain.
Akhirnya, jangan lagi hidup kita membuat Tuhan heran dan geli. Karena kesalahan pilihan dan tujuan hidup kita sendiri. Tuhan selalu ada bersama dengan kita. Hiduplah untuk Tuhan! Sungguh sebuah keputusan yang tidak akan pernah mengecewakan. Amin

Renungan 4 September 2011


KESALAHAN DAN KEBENARAN
FIRMAN MENYATAKAN 

Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali."  (Matius 18:15).

Apa yang pasti akan kita lakukan sebelum pergi ke luar rumah? Tentu kita akan berdandan. Bukan supaya terlihat mempesona dan menawan. Tetapi s kita berusaha memantaskan diri, supaya saat kita ke luar sekurang-kurangnya penampilan kita tidak kelihatan buruk.

Tidak mungkin kita keluar rumah hanya dengan baju sekenanya. Kita lihat dulu apakah pakaian itu cukup sopan dikenakan diluar rumah atau tidak. Tidak mungkin kita berpergian tanpa menyisir rambut. Kita lihat dulu apakah rambut kita sudah cukup rapi atau malah acak-acakan seperti orang bangun tidur. 

Dan untuk semua itu kita membutuhkan satu hal, yaitu cermin! Ya, cermin berfungsi supaya kita dapat melihat diri kita. Kita memerlukan cermin untuk memantaskan apa yang ada pada diri kita!

Masalahnya : siapakah yang menjadi cermin dalam kehidupan kita? Siapakah yang membantu melihat diri kita? Siapakah yang dapat menolong kita untuk memantaskan diri kita? Firman Tuhan menjawab : kitalah cermin bagi sesama kita.
Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. (Matius 18:15a). Tuhan mengatakan bila melihat kelemahan atau dosa sesama kita, kitalah yang berkewajiaban untuk menegur. Kitalah yang memantaskan diri mereka. Kitalah yang menjadi cermin bagi mereka. Inilah perintah Tuhan.

Sungguh terasa mendalam Sabda Tuhan tersebut! Karena betapa sering saat kita melihat kelemahan sesama, kita bukannya menjadi cermin, tetapi menjadi ‘mikroskop’ bahkan ‘mercu suara’. Kita menjadi ‘mikroskop’, ketika kelemahan sesama justru kita amati secara mendetail. Bahkan kita catat dengan runtut berbagai kekurangan sesama kita. Lebih parah lagi ketika kita menjadi ‘mercu suar’, karena dosa sesama kita malah kita siarkan. Menjadi bahan gosip dan pergunjingan dengan orang lain.

Menjadi ‘mikroskop’ dan ‘mercu suar’ sama sekali tidak rohani. Bahkan bertentangan dengan kehendak Tuhan Yesus sendiri. Mengetahui kelemahan dan dosa orang lain, bukan berarti kita lebih baik daripada orang lain. Salah besar bila kepantasan diri kita diukur dari kekurangan orang lain. 

Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? (Matius 7:3). Inilah teguran Tuhan Yesus. Kita tidak akan menjadi lebih baik dengan melihat kelemahan dan dosa orang lain. Malah dengan menghakimi kitalah yang bertambah buruk.

Hari ini kita belajar, bila kita diberi kesempatan mengetahui dosa orang lain sebenarnya suatu ujian bagi diri kita. Sudahkah kita menjadi cermin? Sebab jika kita gagal menjadi cermin sebenarnya adalah sebuah kesalahan fatal. 

Orang yang tidak menjadi cermin, sebenarnya ia sendiri tidak pernah bercermin. Ia tidak pernah memantaskan diri sendiri, sehingga ia tidak mampu memantaskan orang lain. Ia menjadi orang buta, tetapi merasa melihat. Sebenarnya sakit dan kritis, eh malah merasa orang lain yang dalam kondisi lebih parah. Sungguh menyedihkan...

Tetapi dengan menjadi cermin, berarti pula kita diberi kemampuan untuk mau menerima orang lain. Tidak menyalahkan, tetapi mengingatkan. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali." (Matius 18:15b).  Maka kita bukannya kehilangan, melainkan kembali mendapatkan. 

Dengan menjadi cermin, kita sama-sama melihat. Tanpa menjadi cermin, kita sama-sama tersesat. Amin.