Rabu, 28 September 2011

Renungan 25 September 2011



TUHAN MEMIMPIN HIDUPKU

Kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah.
(Matius 21:31)

Dua timba berjumpa di bibir sumur. Wajah timba pertama tampak murung.
“Ada apa?” tanya timba kedua.
“Saya merasa  lelah sekali”, ujarnya, “setiap kali perut saya penuh, saya selalu dibawa ke bawah dalam keadaan perut kosong.’
“ah, sobat, jangan terlalu dipikirkan. Cobalah membalik sudut pandangmu. Kamu dibawa ke sumur dengan perut kosong. Ketika kamu dibawa naik ke permukaan, perutmu penuh kembali!’

Satu peristiwa tetapi dengan dua sudut pandang yang berbeda menghasilkan pemahaman yang berbeda pula. Satu lebih pesimis sedangkan yang satu optimis. Bagaimana dengan perkatan Tuhan Yesus di atas?

Bagi  imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi,ucapan Yesus terdengar begitu menyakitkan. Bayangkan, selama ini merekalah yang merasa hidup taat memenuhi hukum agama. Kok, tega-teganya Tuhan Yesus mengatakan mereka ‘didahului’ oleh perempuan sundal dan pemungut cukai. Jelas mereka merasa menang dan unggul dalam kesalehan. Merekalah yang merasa paling berhak atas kerajaan Allah. Jadi, ucapan Yesus tidak adil. Bahkan seakan kerajaan Allah begitu ‘rendah’. Sehingga menyingung dan membuat sakit hati!

Tetapi coba kita lihat dari sudut pandang yang berbeda. Bukankah ucapan Yesus justru membuktikan kerajaan Allah begitu indah –bukan rendah-? Bayangkan, bahwa kasih Allah begitu besar sehingga menjangkau orang yang paling hina sekalipun. Pemungut cukai dan perempuan sundal pun dapat masuk kerajaan Allah! Allah selalu membuka pintu, dan tidak memperhitungkan dosa di masa lalu.

Di sini jugalah perbedaannya. Ya, di sudut pandang! Ucapan Yesus terasa menyakitkan justru bagi orang yang ‘cemburu’. Orang yang tidak mau disaingi dan mau menang sendiri. Yang -sadar atau tidak- biasanya lambat laun merasa menjadi paling suci. Orang seperti ini biasanya menganut hukum ‘saya benar’ maka ‘anda pasti salah’.

Itulah sebabnya mereka menolak Yesus. Mereka pura-pura mempertanyakan kuasaNya. Mereka pura-pura meragukan mujizatNya. Dan ujung-ujungnya sepakat menyatakan Yesus sebagai perusuh sehingga layak itu dibunuh. Padahal persoalan sebenarnya, merekalah yang tidak mampu melihat begitu besarnya kasih Allah! Tidak bisa memahami Allah yang sungguh Pemurah! Sungguh sayang sekali…

Kepada mereka, Tuhan Yesus dengan keras menegur, “Dan meskipun kamu melihatnya, tetapi kemudian kamu tidak menyesal dan kamu tidak juga percaya kepadanya", (ayat 32). Di sinlah persoalannya : menyesal dan percaya!

Orang yang tidak menyesal biasanya merasa paling benar. Lha wong tidak ada yang salah, apa yang disesalkan? Lha wong merekalah yang ‘dipercaya’, apa lagi yang harus dipercaya? Demikian pemahaman mereka. Tetapi justru mereka malah menolak kemurahan Allah. Mereka mengabaikan bahwa masih begitu luas ruang bagi manusia untuk diterima di hadapanNya.

Keyakinan merasa benar sendiri akan membuat kita puas sendiri dan terhenti sama sekali. Justru di sanalah kita ‘didahului’. Kita menjadi tertinggal dan menjadi ‘juru kunci’. Tragis, bukan? Itu pun belum cukup, karena tanpa percaya dan penyesalan, kita bukan hanya lagi terbelakang dan bahkan bisa jadi kita terhilang. Menyesallah dan percayalah! Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar