HIDUP BERARTI MEMBERI BUAH
Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?
(Matius 20:15)
Sungguh seakan Tuhan tidak adil. Setiap pekerja punya jam bekerja berbeda, tetapi ternyata Tuhan memberikan upah yang sama. Padahal ada yang bekerja sejak pagi hari, ada yang bekerja hanya satu jam. Seharusnya yang bekerja lebih lama berhak mendapat lebih banyak. Inilah prinsip keadilan. Bahasa latinnya ‘suum cuique’, yang berarti setiap orang memperoleh haknya masing-masing.
Lalu mengapa Tuhan justru seakan berpihak kepada pemilik kebun anggur? Masalah sebenarnya bukan pada keadilan. Perhatikan ucapan pemilik kebun anggur, “Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?” (ayat 15). Di situlah letak pangkal masalahnya : Iri hati! Ingatkah kita dengan perumpamaan “Anak yang Hilang”? Si anak sulung juga iri hati. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Ia marah terhadap kemurahan hati sang Bapa terhadap adiknya.
Sumber iri hati tidak lain adalah persoalan ‘berhak’ yang salah kaprah. Para pekerja kebun anggur itu protes karena merasa berhak memperoleh upah lebih banyak. Si sulung protes, karena merasa berhak disambut lebih meriah. Yang satu merasa telah bekerja lebih keras. Yang lain lain merasa telah berkelakuan lebih baik.
Tuhan menjungkirbalikkan perasaan ‘berhak’ mereka. Mereka menyangka dirinya ‘berhak’, padahal tidak. Mereka tidak tahu apa yang mereka katakan. Sebab kalau kita berbicara tentang ‘hak’, maka satu-satu ‘hak’ yang dimiliki oleh manusia hanya satu: hak untuk dibinasakan Allah! Yang akan terjadi adalah Allah membawa semua manusia ke dalam api abadi karena pelanggarannya.
Syukurlah Tuhan tidak Cuma ‘adil’. Dia juga murah hati. Bayangkan, seandainya keadilan dunia hanya dibatasi oleh karena hak atas dasar jasa dan prestasi, lalu bagaimana bila orang sudah renta dan tidak mampu lagi menghasilkan apa-apa? Bagaimana dengan orang yang cacat fisik ataupun jiwa sehingga tidak mungkin lagi bekerja? Hilanglah ‘hak’ mereka sebagai ‘manusia’!
‘Keadilan’ Allah memang berbeda. Dasarnya bukan pada ‘hak’, tetapi pada ‘kemurahan hati’. Sikap dasarnya bukan menuntut tetapi memberi. Karena itu bukan masing-masing menerima berdasarkan jasa dan prestasinya, tetapi masing-masing menerima berdasarnya kebutuhannya.
Sekarang kita dapat mengerti, mengapa yang bekerja satu jam memperoleh sama dengan yang bekerja sembilan jam. Mereka masing-masing menerima satu dinar. Itu adalah biaya kebutuhan hidup pokok orang satu hari. Artinya, dalam hal yang menyangkut kebutuhan dasar untuk hidup layak sebagai manusia, semua orang berhak mendapatkan ‘satu dinar’.
Jadi misalnya kita membayar kelas VIP di rumah sakit. Tentu kita berhak memperoleh kamar yang lebih nyaman dibandingkan dengan mereka yang membayar untuk kelas tiga. Ini adil. Tetapi dalam hal pelayanan kesehatan, semua orang berhak untuk mendapatkan ‘satu dinar’. Setiap orang berhak mendapat penanganan yang sama. Tidak peduli kita orang kaya yang bisa memborong seluruh ruangan rumah sakit, atau kita cuma pasien ‘kelas tiga’. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar