TUNJUKKAN
AKSIMU
Tetapi Yesus
mengetahui kejahatan hati mereka itu lalu berkata: "Mengapa kamu mencobai
Aku, hai orang-orang munafik? Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu
berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah."(Matius 22:18,21b)
Gajah diblangkoni,
iso ujar ora bisa nglakoni. Inilah pepatah jawa bagi orang yang hanya bisa
mengucapkan tetapi tidak bisa melakukan. Hanya tahu sebatas teori tetapi tidak
pernah mempraktekkan. Menurut Yesus, inilah tingkah laku munafik. Tidak satunya
kata dan perbuatan. Lain di mulut lain di hati. Lain pula yang dijalani.
Demikian
pula pertanyaan, “bolehkah membayar pajak kepada kaisar?” Sebenarnya bukan
ditanyakan dengan hati. Tetapi sekedar ingin mengetahui (bahkan menjerat Yesus). Bila dijawab ‘boleh’, maka tampaklah Yesus
sebagai antek penjajah. Bila dikatakan ‘tidak boleh’ maka Yesus dianggap
melawan pemerintah. Sungguh serba salah!
Tetapi
Yesus memberi jawaban tepat. Bukan terjebak boleh dan tidak boleh. Melainkan "Berikanlah kepada Kaisar apa yang
wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan
kepada Allah."Yesus menuntut kesadaran bahwa kita memiliki kewajiban,
baik kepada kaisar maupun kepada Tuhan. Harus dibedakan tetapi tidak harus
dipertentangkan.
Di
sini, bukan sekedar masalah aturan (boleh atau tidak boleh). Melainkan
kenalilah dulu kehendak Tuhan, maka kita tahu apa yang harus kita lakukan baik
kepada penguasa atau kepada siapa saja.
Yang
dapat kita pelajari dari kemunafikan adalah :
Pertama. Jangan
terjebak aturan.
Mengapa
orang menjadi munafik? Karena aturan menjadi beban. Aturan menjebak seakan
masalah ‘boleh dan tidak boleh’. Mana kewajiban dan mana pelanggaran. Justru di
sinilah aturan tidak lagi dihormati. Bahkan aturan dimanipulasi. Tuhan
menghendaki pengenalan supaya kita melakukan segala sesuatu dengan penuh tanggung
jawab dan pengertian. Aturan yang hanya
menuntut ketundukkan dan menjadi beban justru membuat hidup dalam kemunafikan.
Maka kenalilah kehendak Tuhan dengan penuh hikmat dan pengertian!
Kedua, jangan
terjebak pada alasan.
Untuk
melakukan sesuatu membutuhkan dorongan (motivasi). Tetapi untuk tidak melakukan
sesuatu membutuhkan alasan (argumentasi). Betapa sering orang lebih senang
mencari alasan daripada dorongan. Kebanyakan untuk membenarkan tindakannya.
Inilah orang yang munafik. Terlalu banyak beralasan. Akhirnya hanya mampu
mengucapkan kebenaran tetapi yang dilakukan justru kejahatan. Entah dengan
dalih pertimbangan, tetapi justru berbuah pada pembenaran (tepatnya:
dibenar-benarkan). Demikian pula orang Farisi dan Herodian, berusaha mencari
alasan. Tetapi mental seperti itu justru menampilkan kepalsuan. Wajarlah lalu
mereka membenci kepada Yesus yang blak-blakan. Pribadi yang tidak dibuat-buat
dan apa adanya. Jadi, carilah dorongan, jangan alasan!
Bagaimana
dengan keluarga kita?
·
Sudahkah
kita bersama keluarga sungguh-sungguh mengenal kehendak Tuhan? Pengenalan akan
Tuhan hanya didapati dalam kehidupan persekutuan, bukan sekedar memaksakan aturan
‘boleh dan tidak boleh’.
·
Sudahkah
hidup kita dipenuhi motivasi, bukan argumentasi? Dorongan untuk melakukan apa
yang kita ucapkan, bukan alasan untuk membenarkan yang tidak kita lakukan.
Kisah
di atas menunjukkan, setiap kemunafikan hanya menghasilkan kepalsuan dan jebakan.
Apapun aturannya. Apa pun alasannya. Karena Tuhan tahu benar, kemunafikan hanya
sekedar tampil manis di muka, tetapi untuk sementara. Kemunafikan tidak dapat
membuat hidup berubah, apalagi tumbuh dan berbuah.
Jangan
menjadi munafik! Usahakan hidup berkeluarga dalam dorongan dan pengenalan
kehendak Tuhan. Pasti berubah. Pasti berbuah. Amin.