Senin, 17 Oktober 2011

Renungan 16 Oktober 2011


TUNJUKKAN AKSIMU

Tetapi Yesus mengetahui kejahatan hati mereka itu lalu berkata: "Mengapa kamu mencobai Aku, hai orang-orang munafik? Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah."(Matius 22:18,21b)

Gajah diblangkoni, iso ujar ora bisa nglakoni. Inilah pepatah jawa bagi orang yang hanya bisa mengucapkan tetapi tidak bisa melakukan. Hanya tahu sebatas teori tetapi tidak pernah mempraktekkan. Menurut Yesus, inilah tingkah laku munafik. Tidak satunya kata dan perbuatan. Lain di mulut lain di hati. Lain pula yang dijalani.

Demikian pula pertanyaan, “bolehkah membayar pajak kepada kaisar?” Sebenarnya bukan ditanyakan dengan hati. Tetapi sekedar ingin mengetahui (bahkan menjerat Yesus).  Bila dijawab ‘boleh’, maka tampaklah Yesus sebagai antek penjajah. Bila dikatakan ‘tidak boleh’ maka Yesus dianggap melawan pemerintah. Sungguh serba salah!

Tetapi Yesus memberi jawaban tepat. Bukan terjebak boleh dan tidak boleh. Melainkan "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah."Yesus menuntut kesadaran bahwa kita memiliki kewajiban, baik kepada kaisar maupun kepada Tuhan. Harus dibedakan tetapi tidak harus dipertentangkan.

Di sini, bukan sekedar masalah aturan (boleh atau tidak boleh). Melainkan kenalilah dulu kehendak Tuhan, maka kita tahu apa yang harus kita lakukan baik kepada penguasa atau kepada siapa saja.

Yang dapat kita pelajari dari kemunafikan adalah :

Pertama. Jangan terjebak aturan.
Mengapa orang menjadi munafik? Karena aturan menjadi beban. Aturan menjebak seakan masalah ‘boleh dan tidak boleh’. Mana kewajiban dan mana pelanggaran. Justru di sinilah aturan tidak lagi dihormati. Bahkan aturan dimanipulasi. Tuhan menghendaki pengenalan supaya kita melakukan segala sesuatu dengan penuh tanggung jawab dan  pengertian. Aturan yang hanya menuntut ketundukkan dan menjadi beban justru membuat hidup dalam kemunafikan. Maka kenalilah kehendak Tuhan dengan penuh hikmat dan pengertian!

Kedua, jangan terjebak pada alasan.
Untuk melakukan sesuatu membutuhkan dorongan (motivasi). Tetapi untuk tidak melakukan sesuatu membutuhkan alasan (argumentasi). Betapa sering orang lebih senang mencari alasan daripada dorongan. Kebanyakan untuk membenarkan tindakannya. Inilah orang yang munafik. Terlalu banyak beralasan. Akhirnya hanya mampu mengucapkan kebenaran tetapi yang dilakukan justru kejahatan. Entah dengan dalih pertimbangan, tetapi justru berbuah pada pembenaran (tepatnya: dibenar-benarkan). Demikian pula orang Farisi dan Herodian, berusaha mencari alasan. Tetapi mental seperti itu justru menampilkan kepalsuan. Wajarlah lalu mereka membenci kepada Yesus yang blak-blakan. Pribadi yang tidak dibuat-buat dan apa adanya. Jadi, carilah dorongan, jangan alasan!

Bagaimana dengan keluarga kita?
·         Sudahkah kita bersama keluarga sungguh-sungguh mengenal kehendak Tuhan? Pengenalan akan Tuhan hanya didapati dalam kehidupan persekutuan, bukan sekedar memaksakan aturan ‘boleh dan tidak boleh’.
·         Sudahkah hidup kita dipenuhi motivasi, bukan argumentasi? Dorongan untuk melakukan apa yang kita ucapkan, bukan alasan untuk membenarkan yang tidak kita lakukan.

Kisah di atas menunjukkan, setiap kemunafikan hanya menghasilkan kepalsuan dan jebakan. Apapun aturannya. Apa pun alasannya. Karena Tuhan tahu benar, kemunafikan hanya sekedar tampil manis di muka, tetapi untuk sementara. Kemunafikan tidak dapat membuat hidup berubah, apalagi tumbuh dan berbuah.

Jangan menjadi munafik! Usahakan hidup berkeluarga dalam dorongan dan pengenalan kehendak Tuhan. Pasti berubah. Pasti berbuah. Amin.

Selasa, 11 Oktober 2011

Renungan 9 Oktober 2011


MENGUPAYAKAN IDENTITAS HIDUP KELUARGA DENGAN GEMBIRA

Sesudah itu ia berkata kepada hamba-hambanya: Perjamuan kawin telah tersedia, tetapi orang-orang yang diundang tadi tidak layak untuk itu. Sebab itu pergilah ke persimpangan-persimpangan jalan dan undanglah setiap orang yang kamu jumpai di sana ke perjamuan kawin itu. (Matius 22 : 8,9)

Bagaimanakah perasaan kita bila diundang acara resepsi pernikahan? Senang atau susah? Tentunya kita akan merasakan senang. Kita merasa dihargai dan dikaruhke. Satu-satunya alasan sedih menerima undangan resepsi adalah kita bingung untuk nyumbang. Tetapi itu pun tidak seharusnya terjadi. Karena maksud undangan resepsi adalah berbagi kebahagiaan, bukan menjadi beban supaya memberi sumbangan. Di sini yang terpenting kehadiran, bukan amplopan. Begitu bukan?!

Jadi bisa dibayangkan begitu kecewanya sang Raja dalam perumpamaan di atas. Ia adalah seorang raja yang mengadakan resepsi untuk anaknya. Ia telah memilih dan mengundang tamu khusus. Ia telah menyediakan jamuan yang istimewa. Tetapi justru undangan itu ditolak dan diabaikan!
Bukankah suatu kejanggalan? Ah, seandainya kita diundang perjamuan di istana, apakah perasaan kita? Pasti bangga! Kita merasa dikenal oleh sang penguasa (baca:raja). Kita akan menyambut persiapan supaya tidak tampil memalukan. Bahkan kita tidak sabar, menunggu waktu untuk hadir dan mengambil bagian dalam resepsi pernikahan.

Tetapi apa yang terjadi? Dalam perumpamaan dikisahkan para tamu justru memilih pergi ke ladang. Para undangan mengabaikan dengan sibuk mengurusi dagangan. Bahkan ada pula menyiksa dan membunuh para utusan. Sungguh keterlaluan! Sebenarnya Sang Raja belum habis kesabaran. Ia pun mengundang banyak orang yang ditemui di setiap persimpangan. Orang baik maupun jahat berdatangan memenuhi ruang perjamuan. Tetapi lagi-lagi dijumpai orang yang tidak melayakkan diri. Ia menyepelekan karena asal berpakaian. Sungguh keterlaluan!

Tetapi inilah teguran bagi kehidupan kita. Ketika urusan kita masing-masing menjadi begitu penting melampaui perjamuanTuhan (baca:keluarga). Ketika kita mengabaikan keluarga oleh karena kesibukan. Padahal Tuhan menjadikan keluarga untuk berbagi kebahagiaan, bukan untuk memberi beban. Lebih-lebih kita pun menyepelekan. Asal datang, tetapi tidak dengan persiapan. Tidak menguji dan melayakan diri. Ibarat hidup di sebuah rumah tetapi tidak mengambil peran apapun. Tidak peduli apalagi perhatian. Sesungguhnya kita pun telah melakukan tindakan yang tidak kalah keterlaluan.

Bersamaan pembukaan Bulan Keluarga, bacaan ini menggambarkan ‘perjamuan sebagai kehidupan rumah tangga’. Tuhanlah yang meneguhkan pernikahan kita. Tuhanlah yang memberkati perkawinan kita. Lalu adakah waktu untuk perjamuan keluarga? Atau lebih sibuk dengan urusan sendiri-sendiri dan tersita dengan kegiatan pribadi-pribadi? Hingga malah mengabaikan Tuhan yang membangun keluarga kita.

Ingatlah, Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya; (Mazmur 127:1). Rumah tangga ibarat undangan perjamuan Tuhan. Kita disatukan olehNya untuk berkumpul dan berbagi kebahagian. Jangan diabaikan, jangan disepelekan dan jangan dijadikan beban. Sungguh suatu kehormatan bila Tuhan berkenan mengundang dan menjadi kepala perjamuan.

Tanpa Tuhan tidak ada rumah tangga bahagia. Selamat menghayati Bulan Keluarga 2011. Amin. 

Jumat, 30 September 2011

Renungan 2 Oktober 2011


Terus Memberitakan Karya Pembebasan Allah bagi Semua


Sebab itu, Aku berkata kepadamu, bahwa Kerajaan Allah akan diambil dari padamu dan akan diberikan kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan buah Kerajaan itu. (Matius 21:43)

Dikisahkan adalah seorang tuan tanah yang memiliki kebun anggur. Kemudian dia menyerahkan kebun anggur itu kepada para penyewa untuk digarap oleh mereka. Jadi dialah yang paling berhak atas kebun anggur itu, sedangkan yang lain hanyalah penyewa.

Ketika saat musim petik tiba, diutusnya para hamba untuk mengambil bagiannya. Tetapi bukan mendapat sambutan, melainkan penganiayaan dan pembunuhan. Sang tuan tanah kembali mengirim hambanya untuk kedua kali. Dan lagi-lagi hamba-hambanya mendapat perlakuan sama. Lagi-lagi dibunuh dan dianaya.

Cerita belum berhenti di situ. Kali ini sang tuan tanah mengirimkan anaknya. Terlintas di benak sang tuan tanah bahwa para penyewa akan menjadi segan untuk memperlakukan semena-mena. Tetapi tidak disangka, kejahatan justru semakin merajalela. Sang putra pun dibunuh mereka pula.

Sungguh menceritakan kejahatan sempurna. Bukan sekali dua kali, hingga tiga kali. Tidak terlintas untuk terhenti, hingga sang putra ahli waris pun turut dihabisi. Apakah maksud dari perumpamaan ini?

Pertama, kejahatan memang perkasa
Kejahatan dapat bertindak semena-mena kepada siapa saja. Ia dapat merusak dan merajalela. Seakan tidak terkendali  dan semakin menjadi-jadi. Ingatkah kasus korupsi yang sekarang ditemui segala segi? Ingatkah kasus kekerasan yang tidak akan berhenti? Sampai-sampai kita menjadi terbiasa dan mati rasa. Itu bukan urusan kejahatan lagi, karena sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Kejahatan memang sangat perkasa! Supaya kita jangan kaget dan heran. Memang demikian kenyataan kejahatan.

Kedua, tetapi kejahatan tidak berkuasa
Bersiap-siaplah menghadapi kejahatan. Ia memang perkasa. Tetapi sadarilah juga bahwa kejahatan tidak berkuasa. Kejahatan pasti akan kalah. Kejahatan pasti akan menyerah. Sebesar dan semasif apapun bentuknya, kejahatan pasti binasa. Di akhir cerita dikisahkan, “Ia (baca: tuan tanah) akan membinasakan orang-orang jahat itu dan kebun anggurnya akan disewakannya kepada penggarap-penggarap lain, yang akan menyerahkan hasilnya kepadanya pada waktunya." (ayat 41). Mereka telah membunuh ahli waris, tetapi jangan dikira mereka akan dapat memiliki tanah. Justru kejahatan terhadap sang putra menjadi ‘titik balik’ bahwa mereka pun akan mendapat pembalasan. Mereka pun dibinasakan!

Betapa kasih Allah tidak pernah kalah. Ia bisa dihalangi oleh kejahatan. Bahkan seakan dihentikan oleh kejahatan. Jangan kaget melihat kenyataan perkasanya kejahatan! Tetapi kasih Allah tidak pernah mati. Ia tetap akan terus berdiri. Bagaikan terang menerangi kegelapan. Sekuat apa pun kegelapan tidak akan pernah mematikan cahaya. Kasih akan tetap bersinar betapa pun kecilnya!

Kejahatan memang perkasa, tetapi tidak berkuasa. Kejahatan pasti binasa. Karena sebenarnya setiap kejahatan memiliki benih yang merusak diri sendiri. Sekejap terkesan jumawa, namun semakin bertumbuh besar, juga kerusakannya  akan semakin lebar. Dan puncaknya mereka pasti hancur, luluh lantak tak bersisa. Para penyewa merasa dengan membunuh ia semakin kuat dan perkasa. Bahkan dengan membunuh sang putra ia akan semakin ditakuti dan disegani. Salah besar! Di sanalah pula ia akan kehilangan segala-galanya.

Camkan kata Tuhan Yesus, “Sebab itu, Aku berkata kepadamu, bahwa Kerajaan Allah akan diambil dari padamu dan akan diberikan kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan buah Kerajaan itu.” (ayat 43)

Jangan bertindak jahat! Atau kita binasa dan kehilangan segala-galanya... Amin.

Rabu, 28 September 2011

Renungan 25 September 2011



TUHAN MEMIMPIN HIDUPKU

Kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah.
(Matius 21:31)

Dua timba berjumpa di bibir sumur. Wajah timba pertama tampak murung.
“Ada apa?” tanya timba kedua.
“Saya merasa  lelah sekali”, ujarnya, “setiap kali perut saya penuh, saya selalu dibawa ke bawah dalam keadaan perut kosong.’
“ah, sobat, jangan terlalu dipikirkan. Cobalah membalik sudut pandangmu. Kamu dibawa ke sumur dengan perut kosong. Ketika kamu dibawa naik ke permukaan, perutmu penuh kembali!’

Satu peristiwa tetapi dengan dua sudut pandang yang berbeda menghasilkan pemahaman yang berbeda pula. Satu lebih pesimis sedangkan yang satu optimis. Bagaimana dengan perkatan Tuhan Yesus di atas?

Bagi  imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi,ucapan Yesus terdengar begitu menyakitkan. Bayangkan, selama ini merekalah yang merasa hidup taat memenuhi hukum agama. Kok, tega-teganya Tuhan Yesus mengatakan mereka ‘didahului’ oleh perempuan sundal dan pemungut cukai. Jelas mereka merasa menang dan unggul dalam kesalehan. Merekalah yang merasa paling berhak atas kerajaan Allah. Jadi, ucapan Yesus tidak adil. Bahkan seakan kerajaan Allah begitu ‘rendah’. Sehingga menyingung dan membuat sakit hati!

Tetapi coba kita lihat dari sudut pandang yang berbeda. Bukankah ucapan Yesus justru membuktikan kerajaan Allah begitu indah –bukan rendah-? Bayangkan, bahwa kasih Allah begitu besar sehingga menjangkau orang yang paling hina sekalipun. Pemungut cukai dan perempuan sundal pun dapat masuk kerajaan Allah! Allah selalu membuka pintu, dan tidak memperhitungkan dosa di masa lalu.

Di sini jugalah perbedaannya. Ya, di sudut pandang! Ucapan Yesus terasa menyakitkan justru bagi orang yang ‘cemburu’. Orang yang tidak mau disaingi dan mau menang sendiri. Yang -sadar atau tidak- biasanya lambat laun merasa menjadi paling suci. Orang seperti ini biasanya menganut hukum ‘saya benar’ maka ‘anda pasti salah’.

Itulah sebabnya mereka menolak Yesus. Mereka pura-pura mempertanyakan kuasaNya. Mereka pura-pura meragukan mujizatNya. Dan ujung-ujungnya sepakat menyatakan Yesus sebagai perusuh sehingga layak itu dibunuh. Padahal persoalan sebenarnya, merekalah yang tidak mampu melihat begitu besarnya kasih Allah! Tidak bisa memahami Allah yang sungguh Pemurah! Sungguh sayang sekali…

Kepada mereka, Tuhan Yesus dengan keras menegur, “Dan meskipun kamu melihatnya, tetapi kemudian kamu tidak menyesal dan kamu tidak juga percaya kepadanya", (ayat 32). Di sinlah persoalannya : menyesal dan percaya!

Orang yang tidak menyesal biasanya merasa paling benar. Lha wong tidak ada yang salah, apa yang disesalkan? Lha wong merekalah yang ‘dipercaya’, apa lagi yang harus dipercaya? Demikian pemahaman mereka. Tetapi justru mereka malah menolak kemurahan Allah. Mereka mengabaikan bahwa masih begitu luas ruang bagi manusia untuk diterima di hadapanNya.

Keyakinan merasa benar sendiri akan membuat kita puas sendiri dan terhenti sama sekali. Justru di sanalah kita ‘didahului’. Kita menjadi tertinggal dan menjadi ‘juru kunci’. Tragis, bukan? Itu pun belum cukup, karena tanpa percaya dan penyesalan, kita bukan hanya lagi terbelakang dan bahkan bisa jadi kita terhilang. Menyesallah dan percayalah! Amin.

Renungan 18 September 2011



HIDUP BERARTI MEMBERI BUAH

Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati? 
(Matius  20:15)

Sungguh seakan Tuhan tidak adil. Setiap pekerja punya jam bekerja berbeda, tetapi ternyata Tuhan memberikan upah yang sama. Padahal ada yang bekerja sejak pagi hari, ada yang bekerja hanya satu jam. Seharusnya yang bekerja lebih lama berhak mendapat lebih banyak. Inilah prinsip keadilan. Bahasa latinnya ‘suum cuique’, yang berarti setiap orang memperoleh haknya masing-masing.

Lalu mengapa Tuhan justru seakan berpihak kepada pemilik kebun anggur? Masalah sebenarnya bukan pada keadilan. Perhatikan ucapan pemilik kebun anggur, “Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?” (ayat 15). Di situlah letak pangkal masalahnya : Iri hati! Ingatkah kita dengan perumpamaan “Anak yang Hilang”? Si anak sulung juga iri hati. Ia merasa diperlakukan tidak adil.  Ia marah terhadap kemurahan hati sang Bapa terhadap adiknya.

Sumber iri hati tidak lain adalah persoalan ‘berhak’ yang salah kaprah. Para pekerja kebun anggur itu protes karena merasa berhak memperoleh upah lebih banyak. Si sulung protes, karena merasa berhak disambut lebih meriah. Yang satu merasa telah bekerja lebih keras. Yang lain lain merasa telah berkelakuan lebih baik.
Tuhan menjungkirbalikkan perasaan  ‘berhak’ mereka. Mereka menyangka dirinya ‘berhak’, padahal tidak. Mereka tidak tahu apa yang mereka katakan. Sebab kalau kita berbicara tentang ‘hak’, maka satu-satu ‘hak’ yang dimiliki oleh manusia hanya satu: hak untuk dibinasakan Allah! Yang akan terjadi adalah Allah membawa semua manusia ke dalam api abadi karena pelanggarannya. 

Syukurlah Tuhan tidak Cuma ‘adil’. Dia juga murah hati. Bayangkan, seandainya keadilan dunia hanya dibatasi oleh karena hak atas dasar jasa dan prestasi, lalu bagaimana bila orang sudah renta dan tidak mampu lagi menghasilkan apa-apa? Bagaimana dengan orang yang cacat fisik ataupun jiwa sehingga tidak mungkin lagi bekerja? Hilanglah ‘hak’ mereka sebagai ‘manusia’!

‘Keadilan’ Allah memang berbeda. Dasarnya bukan pada ‘hak’, tetapi pada ‘kemurahan hati’. Sikap dasarnya bukan menuntut tetapi memberi. Karena itu bukan masing-masing menerima berdasarkan jasa dan prestasinya, tetapi masing-masing menerima berdasarnya kebutuhannya.

Sekarang kita dapat mengerti, mengapa yang bekerja satu jam memperoleh sama dengan yang bekerja sembilan jam. Mereka masing-masing menerima satu dinar. Itu adalah biaya kebutuhan hidup pokok orang satu hari. Artinya, dalam hal yang menyangkut kebutuhan dasar untuk hidup layak sebagai manusia, semua orang berhak mendapatkan ‘satu dinar’.

Jadi misalnya kita membayar kelas VIP di rumah sakit. Tentu kita berhak memperoleh kamar yang lebih nyaman dibandingkan dengan mereka yang membayar untuk kelas tiga. Ini adil. Tetapi dalam hal pelayanan kesehatan, semua orang berhak untuk mendapatkan ‘satu dinar’. Setiap orang berhak mendapat penanganan yang sama. Tidak peduli kita orang kaya yang bisa memborong seluruh ruangan rumah sakit, atau kita cuma pasien ‘kelas tiga’. Amin


Renungan 11 September 2011


HIDUP UNTUK TUHAN

 Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan. (Roma 14:8)


Suatu hari, ada seorang yang diberi kesempatan bertemu kepada Tuhan. Tuhan berkata, "Jadi engkau ingin bercakap dengan Aku?" Jawab orang itu, "Jika Engkau mempunyai waktu." Tuhan pun tersenyum. "Waktu-Ku adalah abadi."

Lanjut perkataan Tuhan, "apa yang ingin kau tanyakan kepada-Ku?" Orang itu berpikir sejenak lalu bertanya, "apa yang membuat Tuhan heran dan geli saat melihat kehidupan manusia?"
Tuhan menjawab, "Manusia lahir, tetapi segera bosan dan tidak sabar dengan masa kecil mereka sendiri. Mereka ingin berkembang dan dianggap dewasa. Tetapi saat mereka telah dewasa malah bersikap anak-anak lagi."

"Manusia itu selalu kuatir akan masa depan. Lalu lupa akan hidupnya yang dijalani sekarang. Ia tidak lagi mensyukuri hidupnya saat ini. Lalu tidak jelas lagi, di mana kehidupannya. Hidup sekarang tidak, hidup bagi masa depan pun tidak."

"Manusia terkadang bekerja terlalu keras. Mereka hidup untuk mengumpulkan uang, hingga sering tidak lagi merawat kesehatannya. Mereka kehilangan kesehatan pada masa mudanya. Kemudian mereka akan kehabisan lagi uangnya untuk memulihkan kesehatannya."

Lalu Tuhan berkata begitu pelan, "akhirnya manusia menjalani hidupnya menjadi begitu kabur. Mereka hidup seakan tidak pernah mati, tetapi mati seakan tidak pernah merasakan hidup."
Orang itu terdiam sejenak. Tertunduk malu. Tuhan menggandeng tangannya dengan erat. "Tuhan, sebagai Bapa, apa yang Tuhan ingin sampaikan kepada manusia?" Tuhan menjawab lembut, "Bahwa Aku selalu ada bersama mereka!"

Percakapan yang begitu menyentuh. Betapa hidup menjadi tidak berarti bila kita salah orientasi. Kita salah menentukan tujuan. Betapa pun luhurnya keinginan kita, bahkan betapa pun mulianya harapan kita, tanpa Tuhan hidup seringkali menjadi tragedi. Sebab manusia tidak mungkin hidup tanpa Allah.
Marilah belajar alasan dasar –bahkan tidak ada pilihan- bahwa hidup untuk Tuhan :

 
Pertama, hidup adalah milik Tuhan
Hidup memang diberikan kepada kita. Kita memang dianugerahi kehidupan. Tetapi kita tidak memiliki kehidupan. Kita tidak berkuasa atas kehidupan kita sendiri. Kita tidak bisa memilih kapan kita akan dilahirkan. Demikian pula kita tidak dapat menentukan kapan kita akan menerima kematian. Hidup adalah milik Tuhan. Jadi kita kita hidup adalah suatu kesempatan sepanjang hidup untuk mengenal Tuhan.

Kedua, hidup adalah rancangan Tuhan
Tuhan yang memberi hidup, Tuhan juga yang memiliki rancangan kehidupan bagi diri kita. Jika hidup tidak bagi Tuhan, berarti kita hidup bagi rancangan siapa? Ketika kita hidup dengan rancangan kita sendiri, sebenarnya kita sudah salah jalan. Bayangkan, bila telah diciptakan sebuah raket badminton tetapi malah untuk 'gebuk' kasur. Aneh, bukan?! Demikian pula bila kita menjalani hidup tidak sesuai dengan kehendak pencipta kita. Hidup menjadi salah bahkan membuat banyak masalah.

Ketiga, hidup menjadi penuh dalam Tuhan
Karena hidup adalah milik Tuhan. Maka hidup akan penuh bila dijalani bersama Tuhan. Hidup terasa utuh jika dinikmati bersama Tuhan. Raket akan menjadi tepat bila di tangan atlet. Di tangan koki, boleh jadi menjadi barang tidak berguna. Demikian hidup kita terasa sempurna di tangan Sang Pencipta. Hidup kita akan menjadi berharga karena di tangan yang tepat. Raket itu akan mendatangkan banyak medali. Demikian hidup penuh di dalam Tuhan akan mendatangkan banyak berkat bagi orang lain.
Akhirnya, jangan lagi hidup kita membuat Tuhan heran dan geli. Karena kesalahan pilihan dan tujuan hidup kita sendiri. Tuhan selalu ada bersama dengan kita. Hiduplah untuk Tuhan! Sungguh sebuah keputusan yang tidak akan pernah mengecewakan. Amin

Renungan 4 September 2011


KESALAHAN DAN KEBENARAN
FIRMAN MENYATAKAN 

Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali."  (Matius 18:15).

Apa yang pasti akan kita lakukan sebelum pergi ke luar rumah? Tentu kita akan berdandan. Bukan supaya terlihat mempesona dan menawan. Tetapi s kita berusaha memantaskan diri, supaya saat kita ke luar sekurang-kurangnya penampilan kita tidak kelihatan buruk.

Tidak mungkin kita keluar rumah hanya dengan baju sekenanya. Kita lihat dulu apakah pakaian itu cukup sopan dikenakan diluar rumah atau tidak. Tidak mungkin kita berpergian tanpa menyisir rambut. Kita lihat dulu apakah rambut kita sudah cukup rapi atau malah acak-acakan seperti orang bangun tidur. 

Dan untuk semua itu kita membutuhkan satu hal, yaitu cermin! Ya, cermin berfungsi supaya kita dapat melihat diri kita. Kita memerlukan cermin untuk memantaskan apa yang ada pada diri kita!

Masalahnya : siapakah yang menjadi cermin dalam kehidupan kita? Siapakah yang membantu melihat diri kita? Siapakah yang dapat menolong kita untuk memantaskan diri kita? Firman Tuhan menjawab : kitalah cermin bagi sesama kita.
Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. (Matius 18:15a). Tuhan mengatakan bila melihat kelemahan atau dosa sesama kita, kitalah yang berkewajiaban untuk menegur. Kitalah yang memantaskan diri mereka. Kitalah yang menjadi cermin bagi mereka. Inilah perintah Tuhan.

Sungguh terasa mendalam Sabda Tuhan tersebut! Karena betapa sering saat kita melihat kelemahan sesama, kita bukannya menjadi cermin, tetapi menjadi ‘mikroskop’ bahkan ‘mercu suara’. Kita menjadi ‘mikroskop’, ketika kelemahan sesama justru kita amati secara mendetail. Bahkan kita catat dengan runtut berbagai kekurangan sesama kita. Lebih parah lagi ketika kita menjadi ‘mercu suar’, karena dosa sesama kita malah kita siarkan. Menjadi bahan gosip dan pergunjingan dengan orang lain.

Menjadi ‘mikroskop’ dan ‘mercu suar’ sama sekali tidak rohani. Bahkan bertentangan dengan kehendak Tuhan Yesus sendiri. Mengetahui kelemahan dan dosa orang lain, bukan berarti kita lebih baik daripada orang lain. Salah besar bila kepantasan diri kita diukur dari kekurangan orang lain. 

Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? (Matius 7:3). Inilah teguran Tuhan Yesus. Kita tidak akan menjadi lebih baik dengan melihat kelemahan dan dosa orang lain. Malah dengan menghakimi kitalah yang bertambah buruk.

Hari ini kita belajar, bila kita diberi kesempatan mengetahui dosa orang lain sebenarnya suatu ujian bagi diri kita. Sudahkah kita menjadi cermin? Sebab jika kita gagal menjadi cermin sebenarnya adalah sebuah kesalahan fatal. 

Orang yang tidak menjadi cermin, sebenarnya ia sendiri tidak pernah bercermin. Ia tidak pernah memantaskan diri sendiri, sehingga ia tidak mampu memantaskan orang lain. Ia menjadi orang buta, tetapi merasa melihat. Sebenarnya sakit dan kritis, eh malah merasa orang lain yang dalam kondisi lebih parah. Sungguh menyedihkan...

Tetapi dengan menjadi cermin, berarti pula kita diberi kemampuan untuk mau menerima orang lain. Tidak menyalahkan, tetapi mengingatkan. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali." (Matius 18:15b).  Maka kita bukannya kehilangan, melainkan kembali mendapatkan. 

Dengan menjadi cermin, kita sama-sama melihat. Tanpa menjadi cermin, kita sama-sama tersesat. Amin.




Rabu, 31 Agustus 2011

Renungan 28 Agustus 2011


RENUNGAN MINGGU, 28 AGUSTUS 2011

UJILAH AKU

Ujilah aku, ya TUHAN, dan cobalah aku; selidikilah batinku dan hatiku. Sebab mataku tertuju pada kasih setia-Mu, dan aku hidup dalam kebenaran-Mu. (Mazmur 26:2,3).

Siapa sih yang senang terhadap ujian? Siapa sih yang senang dengan cobaan? Tidak ada yang menginginkannya. Banyak orang ingin menghindarinya. Misalnya, seorang yang ingin mendapat SIM lebih memilih ‘membayar lebih’ daripada harus melewati ujian kemampuan berkendaraan. Seorang yang ingin mendapat gelar, memilih jalan curang –memalsukan tugas akhir atau dikerjakan orang lain- supaya dapat melewati ujian. Ujian dianggap menakutkan. Sehingga harus dihindari.

Tetapi ujian ada perlunya. Bayangkan tanpa ujian, siapakah yang akan naik kelas? Siapakah yang dinyatakan layak untuk mendapat gelar? Siapakah yang dinyatakan memiliki ketrampilan yang cukup. Ujian adalah kesempatan menunjukkan kemampuan dan kelayakan.

Demikian pula dalam hal iman. Ada kalanya ujian memang diperlukan. Meski kita siap atau tidak siap. Ujian kehidupan harus dihadapi. Entah dalam rupa kesusahan hidup, ataupun kesenangan yang kita peroleh. Mengapa?

Pertama, ujian menunjukkan kelayakan diri
Ujian dan cobaan justru menunjukkan kelayakan dan kepantasan kita. Jika kita disebut anak Allah, sudahkah kita menunjukkan dalam sikap hidup kita? Bagaimana sikap kita saat menghadapi kesusahan? Apakah kita tetap mampu bersyukur? Di sini ujian adalah kesempatan untuk membuktikan kelayakan dan kepantasan kita.

Kedua, ujian menunjukkan kualitas iman.
Emas harus dipanaskan untuk dimurnikan. Air garam harus dijemur untuk menjadi garam. Demikian iman hrus mengalami ujian untuk mendapatkan kualitas terbaik. Melalui ujian akan tampak iman yang sejati atau iman yang palsu. Seberapa baikkah kualitas iman? Iman yang sejati adalah iman yang tahan uji. Inilah iman dengan kualitas tertinggi. Seperti Yesus telah melewati dalam ujian di taman Getsemani.

Ketiga, ujian menunjukkan kedewasaan atau pertumbuhan.
Di sekolah, ujian tidak pernah sekali. Ada banyak ujian dan semakin lama justru semakin sukar. Tidak pernah semakin mudah. Ujian sarjana tidak lagi, satu ditambah satu sama dengan dua. Ba ditambah bi sama dengan babi. Jauh lebih sulit, karena ujian menunjukkan tingkat pertumbuhan. Demikian pula ujian menunjukkan tingkat pertumbuhan iman, lebih tepatnya kedewasaan iman. Memang ujian hidup semakin sulit, tetapi berarti pula semakin tumbuh dan dewasa.

Untuk itulah pemazmur dengan berani berkata, “Ujilah aku, ya TUHAN, dan cobalah aku; selidikilah batinku dan hatiku.” Ia tidak bermaksud menyombongkan diri. Tetapi ia ingin menjadikan ujian sebagai kesempatan untuk melihat diri. Ia berusaha berefleksi, tidak menghindari.

Pemazmur dengan siap menghadapi ujian. Ia membuktikan kelayakan diri. Ia menunjukkan kualitas iman. Ia pun merasakan pengenalan akan Allah yang semakin bertambah. Hingga ia mengaku, “sebab mataku tertuju pada kasih setia-Mu, dan aku hidup dalam kebenaran-Mu.”

Beranikah kita berkata, “ujilah aku”? Amin.  

Renungan 21 Agustus 2011


MENJADI SAKSI MESIAS DI TENGAH BANGSA

Lalu Yesus bertanya kepada mereka: "Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?" Maka jawab Simon Petrus: "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!" (Matius 16:15-16).

Inilah pengakuan Simon Petrus. Jujur, blak-blakan dan tidak dibuat-buat. Menurutnya, Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup. Dan Yesus membenarkannya. Betapa bahagianya! Petrus tidak salah kira. Petrus tidak salah sangka. Ia ternyata benar tentang siapa Yesus yang selama ini diikutinya.

Dan bukan hanya ia bangga dengan perasaannya. Yesus sendiri pun menyebutnya berbahagia. “Berbahagialah Engkau Simon bin Yunus…” (Matius 16:17). Bahkan Yesus menegaskan berkat atas dirinya : Engkau adalah Petrus! Artinya Yesus mengganti nama lama Simon menjadi nama baru Petrus yang berarti ‘batu karang’. Lalu Yesus melanjutkan : di atas ‘batu karang’ ini Aku akan mendirikan jemaatKu. Yesus menyatakan bahwa Petrus mendapat bagian dalam kerajaan Allah. Petrus mendapat bagian dari karya penyelamatan Allah. Dan lebih hebat lagi, Yesus memberi berkat khusus kepadanya : “Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.” (Matius 16:19).

Sungguh bahagianya Petrus! Ia dipuji dan diberkati Allah oleh karena pengakuannya. Tetapi jangan berhenti di sana. Kita kecewa ketika melihat kisah perjalanan Petrus selanjutnya. Tidak jauh-jauh, Matius di pasal yang sama, ayat 23 menceritakan, “Maka Yesus berpaling dan berkata kepada Petrus: "Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia."

Betapa mengejutkan! Dari sebutan Petrus berubah sebutan Iblis. Dari batu karang berganti menjadi batu sandungan. Apa yang salah dalam diri Petrus? Mengapa perubahan terjadi begitu cepat? Bukan pada pengakuannya. Sebab pengakuannya benar sepenuhnya. Bukan pula pada kesungguhannya. Karena Petrus tulus dan blak-blakan apa adanya.

Melainkan karena Petrus lupa, apa yang menjadi ‘sumber’ pengakuannya. Yesus mengatakan, “sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan BapaKu yang di sorga.” (Matius 16:17).  Petrus lupa bahwa pengakuan itu bukan hasil akal budi, melainkan kasih karunia.

Setiap orang yang mengakui Mesias, seharusnya menyadarinya. Supaya ia rendah hati, bukan puas diri. Tuhan telah menyatakan diriNya kepada seorang nelayan, bukan kepada cendikiawan. Justru kepada pribadi seperti ini Tuhan percayakan segala panggilan pelayananNya. Supaya dalam kesederhanaan dan keterbatasan, manusia menghayati ‘apa yang dipikirkan Allah’.

Namun Petrus khilaf. Ia merasa puas diri dengan pengakuan. Namun bukan dalam pengenalan. Padahal pengakuan di mulut tidak pernah cukup, harus dinyatakan dalam kepenuhan hidup. Bahkan Tuhan sendiri menuntut memikul salib dan menyangkal diri. Inilah pengakuan iman yang sejati.

Akhirnya, mengaku itu memang perlu. Bahkan pengakuan Petrus layak kita tiru. Tetapi jangan cukup berhenti di situ. Pengakuan harus diikuti sebuah pengenalan. Bila tidak, pengakuan bisa jadi bumerang. Seperti yang Petrus alami, dari ‘batu karang’ bisa jadi ‘batu sandungan’. Sayang… Amin